Senin, 21 Mei 2012

Bab 6 

PENETAPAN HARGA TRANSFER DAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL


Sumber : SIGIT SUKMONO
Tujuan Belajar
  1. Mendefinisikan konsep dasar perpajakan internasional.
  2. Memahami konsep keterkaitan pajak dengan laba dari luar negeri.
  3. Memahami alasan terhadap kredit pajak luar negeri.
  4. Menjadi peka terhadap perencanaan pajak internasional dalam perusahaan multinasionl.
  5. Mengetahui variabel-variabel dalam penentuan harga transfer internasional.
  6. Memahami masalah mendasar dalam metode pengalihan harga.
      Faktor pajak dan mata uang memiliki pengaruh besar terhadap keputusan investasi, bentuk organisasi, sumber pendanaan, kapan/dimana pengakuan pendapatan/beban, dan harga transfer.
Kebanyakan perusahaan terbebani dengan masalah aturan perpajakan (disamping COGS, Labour, dan Raw Material). Karena aturan perpajakan masing-masing negara berbeda-beda, perusahaan perlu memiliki sistem perencanaan pajak multinasional dan sistem simulasi berbasis komputer sebagai alat bantu yang esensial bagi manajemen.
    Perusahan harus memahami perbedaan utama sistem perpajakan nasional, upaya nasional membahas masalah pajak berganda, dan peluang arbitrase antara wilayah yurisdiksi nasional bagi perusahaan multinasional. 
   Penetapan harga transfer berperan untuk meminimalkan pajak perusahaan nasional, tetapi juga harus mempertimbangkan konteks perencanaan dan kontrol strategis.
 
Keanekaragaman Sistem Pajak Nasional
Macam-macam pajak :
·         Pajak Langsung , Pajak Tidak Langsung ,PPh Badan, Pjk Pungutan, PPN, Pjk Perbatasan , Pajak transfer
·         Beban Pajak
·         Sistem Administrasi Pajak : Sistem Klasik , Sistem Terintegrasi
·         Insentif Pajak LN : Tax holiday , Tax havens
Kompetisi Pajak yang Membahayakan
Harmonisasi Internasional
*Pamajakan Terhadap Sumber Laba dari LN dan Pajak Berganda
   Kredit Pajak LN
   Pembatasan Kredit Pajak
   Perjanjian Pajak
   Pertimbang Mata Uang Asing 
 
*Definisi Perencanaan Pajak
   Pertimbangan Organisasi
   Perusahaan LN yang dikendalikan dan Laba Subbagian F
   Induk Perusahaan di LN
   Perusahaan Penjualan LN
   Keputusan Pendanaan
   Penggabungan Kredit Pajak
   Alokasi Akuntansi Biaya
   Lokasi dan Penentuan Harga Transfer
 
*Penentuan Harga Transfer Internasional Variabel yang Rumit
  Faktor Pajak
  Faktor Tarif
  Faktor Daya Saings
  Resiko Lingkungan
  Faktor Evaluasi Kinerja
  Kontribusi Akuntansi 
 
*Metodologi Penentuan Harga Transfer
  Harga vs Biaya vs…..?
  Prinsip Harga Wajar
  Metode Harga Tidak Terkontrol yang Setara
  Metode Transaksi Tidak Terkontrol yang Setara
  Metode Harga Jual Kembali
  Metode Penentuan Biaya Plus
  Metode Laba Sebanding
  Metode Pemisahan Laba
  Metode Penentuan Harga Lainnya
  Perjanjian Penentuan Harga Lajutan
  Praktek Harga Transfer
      Setiap perusahaan memang berbeda dari berbagai dimensi. Biasanya setiap perusahaan menjalankan praktek harga transfer sebagai suatu kewajiban. 
Banyak faktor yang mempengaruhi harga transfer. Tetapi harga transfer memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu: 
  1. Mengelola beban pajak (dominan)
  2. Penggunaan operasional transfer pricing (mempertahankan posisi daya saing perusahaan, mempromosikan evaluasi kinerja, memberi motivasi kepada karyawan, mengelola inflasi)
  3. Mengelola resiko nilai tukar asing dan menghilangkan pembatasan atas transfer kas relatif.

Selasa, 01 Mei 2012

KASUS BAKRIE LIFE DAN INOVASI PRODUK ASURANSI HIBRIDA

Perusahaan industri jasa keuangan di Indonesia, termasuk perusahaan asuransi, saat ini mulai banyak yang melakukan terobosan pemasaran dengan menciptakan produk hibrida atau produk campuran, misalnya produk perbankan (deposito) digabung dengan produk asuransi jiwa. Produk hibrida ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat ganda bagi nasabah yaitu mendapatkan bunga deposito sekaligus proteksi asuransi jiwa.
                Perbankan di Indonesia memang belum ada yang menjadi universal banking di mana produk-produknya merupakan produk hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain. Bank di Indonesia mayoritas masih berupa bank komersial (commercial banking) dan jika pun terdapat produk hibrida, jumlahnya masih sedikit dibandingkan dana di sektor perbankan. Sementara universal banking, yang banyak terdapat di Eropa dan juga di Jepang, membolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non-bank seperti investment banking dan asuransi. (Wulan Tunjung Palupi, 2009).
                Di samping munculnya fenomena produk hibrida di sektor jasa keuangan, saat ini juga banyak dijumpai pola keterkaitan antar lembaga keuangan dalam bentuk kerjasama pemasaran produk keuangan. Produk investasi reksadana dan obligasi, selain ditawarkan di pasar modal, juga ditawarkan melalui perbankan. Dalam kasus semacam ini, perbankan hanya berperan sebagai agen penjual yang tidak ikut menanggung risiko kerugian. Pola kerjasama semacam ini tetap membutuhkan pengawasan agar tidak terjadi penyelewengan seperti pada kasus Bank Century dan Antaboga Sekuritas. Koordinasi pengawasan yang baik antara Bank Indonesia dengan Bapepam-LK sangat dibutuhkan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat terhadap produk jasa keuangan. Kecenderungan munculnya produk hibrida dan semangat kerjasama di antara perusahaan jasa keuangan tampaknya akan semakin meningkat di masa mendatang, sehingga hal tersebut memunculkan wacana tentang perlunya membentuk lembaga pengawas sektor keuangan yang bersifat superbody, independen, dan terintegrasi.          
                Kecenderungan munculnya produk hibrida di sektor jasa keuangan di Indonesia sebenarnya lebih banyak mengikuti tren yang ada di negara maju. Fenomena semacam ini dapat berdampak positif atau negatif tergantung cara kita menyikapinya. Penerbitan produk hibrida di sektor jasa keuangan, jika dikelola dengan baik dan benar, dapat meningkatkan gairah dan partisipasi masyarakat secara signifikan untuk membeli produk-produk jasa keuangan. Di lain pihak, jika tidak diiringi dengan pengawasan yang memadai, akan dapat memunculkan dampak negatif seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century dan Antaboga Sekuritas, serta kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwa Bakrie atau yang dikenal sebagai Kasus Bakrie Life.
                Kasus Bakrie Life bermula dari penjualan produk asuransi unit-link Diamond Investa yang merupakan produk hibrida antara asuransi jiwa dengan investasi pasar modal (umumnya reksadana). Banyak nasabah yang tergiur dengan tawaran ini karena produk Diamond Investa menawarkan imbal hasil 1,5 persen di atas bunga deposito per tahun plus manfaat proteksi asuransi jiwa. Sayang pemasaran produk asuransi unit-link ini kemudian bermasalah karena PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) diduga gagal membayar imbal hasil beserta pokok dana nasabah dengan nilai total mendekati Rp 400 miliar. Hal tersebut ditengarai disebabkan adanya penyelewengan penempatan portofolio yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Bakrie Life dianggap melampaui batas dalam berinvestasi karena terlalu banyak menempatkan portofolio reksadana pada saham-saham perusahaan grup Bakrie, sehingga ketika harga saham perusahaan grup Bakrie berjatuhan akibat krisis global 2008 maka nilai portofolio Bakrie Life pun ikut terhempas. (Harian Sinar Harapan, 17 September 2009).
                Kasus Bakrie Life mirip dengan praktek pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) di perbankan. Bedanya, pelanggaran BMPK diatur jelas dalam UU Perbankan (UU 7/ 1992 juncto UU 10/ 1998), sedangkan pelanggaran sejenis belum diatur dalam UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Banyaknya bank yang melanggar BMPK menjadi salah satu pemicu krisis ekonomi dan perbankan 1997/1998. Kasus Bakrie Life jika tidak diselesaikan dengan baik kemungkinan besar akan berdampak negatif terhadap citra industri asuransi di mata masyarakat. Masyarakat sebagai calon nasabah asuransi akan khawatir membeli produk asuransi, khususnya asuransi unit-link. Padahal, industri jasa asuransi sebagaimana industri jasa keuangan lainnya, sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat, karena industri jasa ini hidup dari usaha penghimpunan dan penyaluran dana-dana milik masyarakat.

• Kelemahan aturan hukum dan pentingnya reformasi hukum asuransi
    Kasus Bakrie Life memunculkan fakta adanya kelemahan dalam aturan hukum di bidang asuransi. Hal ini disebabkan UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dibentuk pada masa Orde Baru belum pernah direvisi hingga saat ini, padahal UU Bank Indonesia dan UU Perbankan telah direvisi beberapa kali mengikuti perkembangan sosial-ekonomi-politik yang begitu cepat di era Reformasi.
Pada saat pengajuan RUU bidang Keuangan pada tahun 2003, Pemerintah telah menyertakan RUU Otoritas Jasa Keuangan dan RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Tetapi, yang lolos menjadi UU hanya amandemen UU BI, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2004 dan yang lainnya sampai kini masih menyangkut di DPR. Dari segi infrastruktur, Pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam-LK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia (Rijanta Triwahjana, 2008).
Kelemahan aturan dalam UU 2/ 1992 meliputi 4 (empat) hal sebagai berikut :
1.       UU 2/ 1992 belum mencantumkan secara jelas peran Bapepam-LK sebagai otoritas regulator dan pengawas perusahaan asuransi di bawah kendali Menteri Keuangan.
2.       UU 2/ 1992 belum mengatur tentang pemasaran produk-produk asuransi hibrida.
3.       UU 2/ 1992 belum mengatur pembentukan lembaga penjamin dana nasabah asuransi.
4.       UU 2/ 1992 belum mengatur peran lembaga penjamin dana nasabah asuransi dalam upaya penyelamatan maupun kepailitan/ likuidasi perusahaan asuransi.

• Kelemahan dan pengawasan serta penindakan oleh BAPEPAM -LK
    Mencuatnya kasus gagal bayar nasabah Bakrie Life, menurut Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti ketidakcermatan manajemen, kemungkinan terjadinya praktek pelanggaran usaha, kondisi ekonomi, dan penanganan saat krisis yang tidak tepat. Jika Bapepam-LK memang mengetahui penyebab kasus Bakrie Life, maka timbul pertanyaan mengapa Bapepam-LK selaku regulator dan pengawas tidak berhasil mencegah munculnya kasus Bakrie Life. Bahkan, ketika kasus Bakrie Life benar-benar muncul ke permukaan, Bapepam-LK terkesan hanya mau menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada Bakrie Life dan para nasabahnya. Para nasabah diminta menyelesaikan permasalahan sesuai polis, dan bila menemukan indikasi tindak pidana para nasabah disarankan melapor ke Kepolisian.
                Berdasarkan fakta yuridis dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan kasus Bakrie Life, Bapepam-LK terbukti belum bekerja secara maksimal karena tidak melaksanakan penyidikan dengan benar. Jika tugas penyidikan tersebut dilakukan dengan benar dan berhasil menemukan indikasi pelanggaran pidana, maka Bapepam-LK seharusnya wajib meneruskan kasus tersebut ke Kepolisian dan bukannya malah menyerahkan tugas tersebut kepada para nasabah Bakrie Life. Hal serupa juga terjadi dalam kasus Bank Century dimana Bank Indonesia tidak berani melakukan penindakan terhadap pemilik Bank Century yang terbukti melakukan pelanggaran pidana berupa penerbitan L/C fiktif senilai Rp 1,8 triliun. Ketidaktegasan Bank Indonesia membuat kasus Bank Century bertambah besar sehingga biaya penyelamatan yang harus ditanggung LPS mencapai Rp 6,7 triliun. Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank sering digunakan sebagai dalil untuk menutupi ketakutan dan kelemahan tersebut.


Sumber :
http://citayustisia.blogspot.com/2009/09/normal-0-microsoftinternetexplorer4_28.html